A. Presiden tidak cukup kuat untuk menjalankan kebijakannya.
Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ini
membuat posisi presiden presiden kuat dalam ati sulit untuk digulingkan. Namun,
di parlemen tidak terdapat partai yang dominan, termasuk partai yang mengusung
pemerintah. Ditambah lagi peran lagislatif yang besar pasca reformasi ini dalam
menentukan banyak kebijakan presiden.
Dalam memberhentikan menteri misalnya, presiden
sulit untuk memberhentikan menteri karena partai yang “mengutus” menteri
tersebut akan menarik dukungannya dari pemerintah dan tentunya akan semakin
memperlemah pemerintah. Hal ini membuat presiden sulit mengambil langkah
kebijakannya dan mudah di-“setir” oleh partai.
B. Rendahnya
tingkat kesejahteraan masyarakat justru di tengah kebebasan demokrasi.
Tingkat kesejahteraan menurun setelah reformasi,
yang justru saat itulah dimulainya kebebasan berekspresi, berpendapat, dll. Ini
aneh mengingat sebenarnya tujuan dari politik adalah kesejahteraan. Demokrasi
atau sistem politik lainnya hanyalah sebuah alat. Begitu pula dengan kebebasan
dalam alam demokrasi, hanyalah alat untuk mencapai kesejahteraan.
C. Tidak berjalannya fungsi partai politik.
Fungsi partai politik paling tidak ada tiga:
penyalur aspirasi rakyat, pemusatan kepentingan-kepentingan yang sama, dan
sarana pendidikan politik masyarakat. Selama ini dapat dikatakan ketiganya
tidak berjalan. Partai politik lebih mementingkan kekuasaan daripada aspirasi
rakyat.Fungsi partai politik sebagai pemusatan kepentingan-kepentingan yang
sama pun tidak berjalan mengingat tidak adanya partai politik yang konsisten
dengan ideologinya.
Partai politik sebagai sarana pendidikan
politik masyarakat lebih parah. Kita melihat partai mengambil suara dari
masyarakat bukan dengan pencerdasan terhadap visi, program partai, atau
kaderisasi. Melainkan dengan uang, artis, kaos, yang sama sekali tidak
mencerdaskan malah membodohi masyarakat.
D. Ketidakstabilan kepemimpinan nasional.
Jika kita cermati, semua pemimpin bangsa ini
mualai dari Soekarno sampai Gus Dur, tidak ada yang kepemimpinannya berakhir
dengan bahagia. Semua berakhir tragis alias diturunkan. Ini sebenarnya
merupakan dampak dari tidak adanya pendidikan politik bagi masyarakat. Budaya
masyarakat Indonesia tentang pemimpinnya adalah mengharapkan hadirnya “Ratu
Adil” yang akan menyelesaikan semua masalah mereka. Ini bodoh. Masyarakat tidak
diajari bagaimana merasionalisasikan harapan-harapan mereka. Mereka tidak
diajarkan tentang proses dalam merealisasikan harapan dan tujuan nasional.
Hal ini diperburuk dengan sistem pemilihan pemimpin
yang ada sekarang (setelah otonomi), termasuk pemilihan kepala daerah yang
menghabiskan biaya yang mahal. Calon pemimpin yang berkualitas namun tidak
berduit akan kalah populer dengan calon yang tidak berkualitas namun memiliki
uang yang cukup untuk kampanye besar-besaran, memasang foto wajah mereka
besar-besar di setiap perempatan. Masyarakat yang tidak terdidik tidak dapat
memilih pemimpin berdasarkan value.
E. Birokrasi
yang politis, KKN, dan berbelit-belit.
Birokrasi semasa orde baru sangat politis.
Setiap PNS itu Korpri dan wadah Korpri adalah Golkar. Jadi sama saja dengan PNS
itu Golkar. Ini berbahaya karena birokrasi merupakan wilayah eksekusi
kebijakan. Jika birokrasi tidak netral, maka jika suatu saat partai lain yang
memegang pucuk kebijakan, maka dia akan sulit dalam menjalankan kebijakannya
karena birokrasi yang seharusnya menjalankan kebijakan tersebut memihak pada
partai lain. Aknibatnya kebijakan tinggal kebijakan dan tidak terlaksana.
Leibih parahnya, ini dapat memicu reformasi birokrasi besar-besaran setiap kali
ada pergantian kepemimpinan dan tentunya ini bukanlah hal yang baik untuk
stabilitas pemerintahan. Maka seharusnya birokrasi itu netral.
Banyak sekali kasus KKN dalam birokrasi. Contoh
kecil adalah pungli, suap, dll. Ini menjadi bahaya laten karena menimbulkan
ketidakpercayaan yang akut dari masyarakat kepada pemerintah. Selain itu
berdampak pula pada iklim investasi. Investor tidak berminat untuk berinvestasi
karena adanya kapitalisasi birokrasi.
Hal di atas mendorong pada birokrasi yang tidak
rasional. Kinerja menjadi tidak professional, urusan dipersulit, dsb. Prinsip
yang digunakan adalah “jika bisa dipersulit, buat apa dipermudah”.
F. Banyaknya ancaman separatisme.
Misalnya Aceh, Papua, RMS, dll. Ini merupakan dampak
dari dianaktirikannya daerah-daerah tersebut semasa orde baru, yang tentunya
adalah kesalahan pemerintah dalam “mengurus anak”. Tentunya ini membuat
ketahanan nasional Indonesia menjadi lemah, mudah diadu domba, terkurasnya
energi bangsa ini, dan mudah dipengaruhi kepentingan asing.
Sumber Referensi :
http://zulfikar-robbayani.blogspot.com/2012/03/penyimpangan-demokrasi-yang-berjalan-di.html
Asri, Tapa M,
2009.Perjalanan Demokrasi di Indonesia. Makassar: Universitas Veteran
Republik Indonesia
http://husainnur.wordpress.com/2011/04/04/pelaksanaan-demokrasi-di-indonesia/ http://aditya87.wordpress.com/2008/09/14/kegagalan-demokrasi-indonesia/
http://jurnalhipotesis.blogspot.com/2009/12/perjalanan-demokrasi-diindonesia.
html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar